Kamis, 12 Agustus 2010

Nyadran Menjelang Ramadhan



Menjelang Ramadhan ada beberapa tradisi menarik yang dilakukan sebagian besar umat Islam di Indonesia, termasuk di wilayah Cirebon. Tradisi itu di antaranya adalah nyadran, yakni ziarah kubur ke makam sesepuh, orangtua, ataupun keluarga yang lain.
Dalam bahasa Cirebon nyadran lebih dikenal dengan ngembang atau nyekar. Nyekar dan ngembang memiliki makna menaruh bunga di atas makan sambil diiringi dengan do’a, tradisi ini biasanya dilakukan menjelang Ramadhan.

Nyadran atau nyekar dikatakan hanya sebagai tradisi karena memang sebenarnya dalam Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW sendiri tidak ditemukan dalil bahwa Rasulullah SAW atau para sahabat melakukan nyekar atau nyadran dan berziarah ke makan menjelang Ramadhan. Hal ini hanya tradisi yang tidak ada kaitannya dengan perintah syariah islam, namun islam tidak melarang seseorang berziarah kubur atau melakukan silaturahim dengan sanak saudara.

Akulturasi Nilai

Nyadran merupakan sebuah pola kegiatan ritual yang mengandung unsure budaya local dan nilai-nilai Islam sehingga sangat Nampak adanya akulturasi antara nilai lokalitas suatu daerah dan budaya Islam.

Akulturasi tradisi nyadran ternyata terjadi tidak hanya dengan agama Islam tapi juga dengan budaya Hindu, Buddha, dan Animisme. Nyadran telah menjadi budaya masyarakat yang sudah melekat dan menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas.

Dari sisi sosioantropologi, tradisi nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, membuat penganan apem, kolak, dan sebagainya sebagai unsure sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahim keluarga dan sekaligus media komunikasi social, budaya, dan keagamaan.

Dalam konteks social dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium kohesi social, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan, dan nasionalisme. Nyadran juga ajang berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.

Sunan Kalijaga
Konon upacara nyadran (sradha) sudah dilakukan sejak zaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan upacara nyadran pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada 1352.

Setelah agama islam masuk ke Tanah Jawa, upacara nyadran tetap dilaksanakan tetapi oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturahim yang diadakan setiap bulan Ruwah. Inilah perpaduan tradisi Jawa dan Islam yang diajarkan Sunan Kalijaga untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat Jawa.

Dalam implementasi, nyadran tidak sekedar gotong royong membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduri, membuat kue apem, ketan, kolak sebagai unsure utama sesaji sebagai landasan ritual doa. Nyadran juga telah mampu meningkatkan perekonomian setidaknya bagi masyarakat yang bermukim di sekitar area pemakaman. Mereka dapat berjualan kembang, jajanan, atau sekedar menawarkan jasa membersihkan makam.
Namun ada juga yang menjadi keprihatinan kita semua, yakni di saat nyadran kita sering kali menemukan pemandangan bocah-bocah yang mengejar peziarah untuk meminta sedekah.

Bagaimanapun, awal, makna dan dampak tradisi nyadran atau nyekar tidak akan mengurangi kekhusyukan kita menunaikan ibadah puasa tahun ini. Ahlan wasahlan ya Ramadhan. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1431 Hijriah.
(Selected Reading: Kompas, Kamis 12 Agustus 2010, halaman D, Forum)

code 231180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar